Selasa, Oktober 09, 2007

MULTIKULTURALISME DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Pengantar
Otonomi daerah memungkinkan setiap daerah menonjolkan kekhasannya sebagai sumber potensi. Namun di sisi lain, era otonomi daerah yang seluas-luasnya juga berdampak negatif bagi lokalitas dengan berkembangnya semangat etnosentrisme dan potensi disintegrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efek negatif tersebut tidak terlepas dari penafsiran sempit akan makna kebanggaan lokalitas. Lokalitas hanya dimaknai sebagai ruang kultural tanpa mempertimbangkan lokalitas sebagai suatu ruang politik di mana seluruh orang yang ada dalam lokalitas tersebut (dengan identitas etnis, ras, agama, dan kultur apapun) memiliki hak-hak politik yang sederajat. Maka kebanggaan yang muncul pun menjadi kebanggaan semu yang berdiri di atas kepentingan sempit identitas suatu kelompok elit, tanpa memperhatikan kondisi massa secara keseluruhan.
Secara kultural, karakteristik masyarakat Jawa Barat sangat beragam meski secara umum sering disebut sebagai masyarakat Sunda. Seiring dengan perkembangan zaman, keanekaragaman masyarakat Jawa Barat semakin bertambah, tidak hanya dari dimensi kultural namun juga dimensi identitas (ras, etnisitas, agama). Dalam kondisi seperti inilah konsep multikulturalisme memperoleh relevansinya. Wacana multikulturalisme menjadi relevan manakala berhadapan dengan realitas kehidupan sosial di Jawa Barat yang semakin hari semakin kosmopolis. Jawa Barat tidak sekedar menjadi milik etnik Sunda semata, tapi juga menjadi tanah tempat bermukim dan berkarya berbagai etnik bahkan bangsa.
Karenanya, tidak mungkin suatu kebijakan publik dibuat dengan hanya memakai perspektif suatu etnik atau religi, meskipun etnik atau religi tersebut adalah etnik atau religi mayoritas. Dalam kondisi yang serba beragam, perumusan kebijakan publik mestinya menjadi proses kolektif yang multiperspektif, termasuk dari sisi kultural, sehingga dapat dihasilkan kebijakan publik yang mampu menjawab tantangan global dewasa ini. Para wakil rakyat yang berada di DPRD Provinsi Jawa Barat pun dituntut untuk mampu mengantisipasi tantangan zaman tersebut, yang salahsatunya tercermin dalam berbagai produk hukum yang dihasilkannya. Karenanya, pemahaman mengenai multikulturalisme serta strategi untuk menerapkannya dalam proses perumusan kebijakan publik dapat menjadi awal bagi lahirnya Perda-perda Provinsi Jawa Barat yang lebih demokratis.
Multikulturalisme dalam Perumusan Kebijakan Publik Politik tidak hanya dimengerti secara formal dan kaku, tetapi lebih lugas sebagai daya upaya anggota masyarakat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan mereka, upaya untuk bertahan menghadapi kelompok yang lebih kuat secara ekonomi, sosial, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa ekspresi budaya dan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Jadi politik tidak hanya berurusan dengan akumulasi dan manipulasi kekuasaan tetapi juga permasalahan distribusi sumber daya (resources) secara adil.
Bentuk konkret dari politik adalah kebijakan publik yang pada hakikatnya merupakan bentuk pengaturan distribusi sumberdaya-sumberdaya politik, baik yang berupa kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, keamanan, ketertiban, dll. Dalam konsep sistem politik, kebijakan publik bahkan dimaknai sebagai bentuk konkret dari artikulasi dan agregasi berbagai kepentingan publik, baik yang berupa tuntutan maupun dukungan. Kebijakan publik berperan sebagai mekanisme otoritatif untuk mendistribusikan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus menyelesaikan permasalahan kesenjangan sumberdaya tersebut. Peran penting inilah yang menyebabkan kebijakan publik harus lahir dari proses yang transparan dan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan publik seringkali tidak lahir dari suatu proses yang transparan dan partisipatif. Dalam banyak kasus, kebijakan publik justru lahir dari proses yang tertutup dan elitis, sehingga peluang terjadinya distorsi antara muatan kebijakan publik dengan kepentingan publik menjadi lebih besar. Distorsi ini bisa timbul manakala kepentingan mayoritas mendominasi proses pembuatan kebijakan publik, sehingga kepentingan minoritas terkalahkan. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk melakukan lobbying dan bargaining dalam proses kebijakan juga dapat menyebabkan kebijakan publik yang lahir justru bertentangan dengan kepentingan publik.
Dalam konteks masyarakat yang sangat beragam, baik secara etnisitas, ideologi, religi, ras, dll., semakin sulit untuk merancang posisi yang setara di antara berbagai kelompok kepentingan karena pasti terdapat kelompok yang mayoritas dan juga terdapat kelompok yang menjadi minoritas. Kondisi ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Namun, bukan berarti bahwa kondisi ini tidak dapat diubah. Di sejumlah negara, persoalan dilematis ini coba diatasi dengan menerapkan model demokrasi yang memungkinkan adanya affirmative action berupa pengakuan formal terhadap kesetaraan kelompok-kelompok masyarakat. Malaysia, Singapura, dan Thailand, misalnya, merupakan contoh negara-negara yang menerapkan model demokrasi konsosiasional di mana para anggota parlemen merupakan representasi dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, baik secara kultural maupun politik. Melalui model demokrasi ini, diharapkan parlemen dapat menjadi ujung tombak bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang multikulturalis.
Sejalan dengan model demokrasi konsosiasional, David Held (2000) pun mengajukan model demokrasi kosmopolitan yang diyakini mampu mengatasi kebuntuan demokrasi liberal. Model demokrasi kosmopolitan lahir sebagai respon terhadap tantangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin plural bahkan tidak lagi mengenai batas-batas teritorial suatu negara. Sistem kekuasaan dipandang seperti suatu jejaring (network) yang saling terkait antarberbagai kelompok masyarakat dan bangsa. Jejaring kekuasaan ini meliputi seluruh institusi kekuasaan, baik di level suprastruktur maupun infrastruktur, institusi ekonomi, masyarakat sipil, dll. Demokrasi ini mengakui perbedaan-perbedaan kultural yang ada sebagai suatu kesetaraan, sehingga setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Dalam perspektif demokrasi kosmopolitan, budaya merupakan sumberdaya yang perlu menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan.
Pada praktiknya, model demokrasi kosmopolitan menganut sejumlah prinsip yang dapat diadopsi dalam perumusan kebijakan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
  1. Kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengakui bahwa semua kelompok masyarakat (termasuk juga kelompok etnik) memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengharuskan adanya komitmen terhadap otonomi dan pengakuan hak-hak dan kewajiban untuk menegakan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Adopsi terhadap prinsip-prinsip dan aturan main berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum menjadi mekanisme untuk membatasi bentuk dan ruang lingkup tindakan individual maupun kolektif dalam berbagai institusi, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun civil society. Untuk menjamin penegakan hukum, maka sejumlah standar pun ditetapkan agar ada kesetaraan bagi semua anggota masyarakat, sehingga jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tidak dibenarkan.
  3. Perumusan peraturan dan penegakan hukum. Prinsip ini berlaku bagi setiap level institusi dan seluruh anggota masyarakat, sehingga bersifat non diskriminatif. Prinsip ini juga berlaku sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas lembaga pemerintahan.
  4. Prioritas kolektif. Prinsip ini mendasari perumusan kebijakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan dilandaskan pada skala prioritas yang mengacu pada kepentingan publik, yakni kepentingan sebagian besar kelompok masyarakat (bukan hanya kepentingan kelompok mayoritas). Penyusunan skala prioritas dalam agenda setting kebijakan publik perlu memperhatikan komitmen terhadap otonomi demokrasi sebagai landasan bagi keberlangsungan demokratisasi.
  5. Prinsip keadilan sosial. Prinsip mendasari pembuatan kebijakan sebagai mekanisme untuk menjamin distribusi sumberdaya-sumberdaya secara adil, menghindarkan eksploitasi sumberdaya untuk kepentingan sesaat atau kepentingan segelintir orang.
  6. Prinsip relasi non koersif. Demokrasi kosmopolitan menekankan penyelesaian konflik melalui manajemen konflik dan mekanisme resolusi yang berbasis governance, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Penggunaan paksaan hanya diperkenankan setelah seluruh mekanisme negosiasi tidak dapat dilakukan lagi. Namun, kekuasaan ini pun tetap diterapkan oleh institusi yang memiliki kewenangan legal untuk melakukan paksaan dan menjatuhkan sanksi.
  7. Keanggotaan lintas budaya. Melalui prinsip ini, demokrasi kosmopolitan memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda dapat saling berinteraksi bahkan dapat menjadi anggota dari berbagai organisasi yang beragam, tanpa memandang asal etnisitas, ras, agama, atau ideologinya. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan bersifat terbuka, sehingga dapat memperluas akses partisipasi publik.
Ketujuh prinsip tersebut menegaskan bahwa multikulturalisme dan demokrasi menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam merumuskan suatu desain kebijakan publik yang mengakui kesederajatan berbagai budaya. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya demokrasi tidak mungkin hidup bila tidak didukung nilai-nilai budaya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan[2].
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yaitu yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedan-perbedaan dalam bentuk apa pun. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, suku bangsa, kebangsaan, ataupun kekayaan dan kekuasaan. Kemudian adanya kebebasan (freedom), individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan prikemanusiaan.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia. Berbagai kegiatan dalam cakupan kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan pilitik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, multikulturalisme dapat menjadi suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengantisipasi setiap isu yang mengarah pada konflik sosial, separatisme, dan disintegrasi sosial.
Penutup Komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri masyarakat Jawa Barat dewasa ini tidaklah berarti terjadinya ketercerabutan dari akar budaya lokal (Sunda) karena pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tersebut. Dalam karakter masyarakat yang mengarah pada kosmopolitanisme, multikulturalisme menjadikan pola interaksi dan identifikasi diri menjadi bersifat multi sehingga seseorang tidak hanya merasa diri sebagai orang Sunda karena dia dilahirkan dari orang tua beretnis Sunda, tapi lebih dari itu, seorang yang bukan etnis Sunda tapi lahir di Bandung pun bisa merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Sunda.
Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanungalan atau ketunggalan yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat dan kemajuan suatu masyarakat, tetapi pengakuan adanya pluralitas budaya inilah yang lebih menjamin tercapainya visi dan misi Jawa Barat menuju pembaruan sosial yang demokratis. Di samping itu, yang perlu kita jadikan standar secara kolektif dalam suatu komunitas sosial kehidupan bermasyarakat adanya “keajekan sosial” (social consistency) yang sama-sama kita miliki. “Keajekan sosial” tersebut berupa sistem nilai sosial, seperti etika yang harus kita sepakati dan taati secara bersama-sama oleh suatu masyarakat yang multikultural. Hal demikian akan memungkinkan realitas sosial yang multikultural tidak akan mudah terjebak dalam sebuah konflik-konflik komunal yang merugikan semua pihak. Dengan semangat multikulturalisme, perbedaan hendaknya dipahami sebagai aset dan bukan sebagai pemicu konflik, apalagi dimanipulasi sebagai alat pertarungan kekuasaan.
Kondisi masyarakat Jawa Barat yang multikultural hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai faktor pendorong bagi munculnya kreativitas dan inovasi yang pada gilirannya akan mendukung percepatan pencapaian visi dan misi sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara.***
Bandung, 13 November 2005 [1] Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah (KP2W) Lemlit Unpad dan Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad. [2] Suparlan, op.cit., hal. 7.

Sabtu, Oktober 06, 2007

Selamat Datang KBB

Jumat tanggal 8 Desember 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi para "pejuang" Bandung Barat. Pada tanggal tersebut, RUU Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KBB) akan disahkan oleh DPR RI. Meski terlambat satu hari dari rencana semula agenda pengesahan tersebut, inilah puncak dari perjuangan mendirikan KBB yang sudah dirintis sejak tahun 1999.
Wacana pemekaran Kabupaten Bandung sebenarnya telah diawali melalui Surat Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri yang berisi usulan pemekaran tiga kabupaten, yakni Kabupaten Bandung, Cianjur, dan Indramayu. Surat ini selanjutnya diteruskan pada bupati ketiga wilayah tersebut yang diminta segera menyampaikan persetujuan DPRD Kabupaten yang bersangkutan dalam bentuk keputusan DPRD. Dengan demikian, usulan pemekaran Kabupaten Bandung, sebenarnya merupakan bagian dari implementasi Pola Induk Pengembangan Wilayah Provinsi Jawa Barat (25-30 tahun) yang telah memprogramkan pengembangan wilayah/daerah Provinsi Jawa Barat dalam jangka panjang, yang semula 24 Daerah Tingkat II direncanakan akan dikembangkan atau dimekarkan secara bertahap menjadi 42 Daerah Tingkat II. Dasar pertimbangan pengusulan pemekaran Kabupaten Bandung yang termuat dalam surat gubernur tersebut dilandaskan pada aspirasi masyarakat dalam rangka mewujudkan pelayanan masyarakat yang cepat, efektif, dan efisien yang kemudian diperkuat dengan asumsi-asumsi, pertama, wilayah Kabupaten Bandung memiliki wilayah yang terlampau luas, sehingga masih ada wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan aparatur pemerintah secara efektif serta belum sepenuhnya terjangkau oleh kegiatan pembangunan. Kedua, cakupan wilayah kerja yang memadai akan memberikan peluang peningkatan pelayanan masyarakat dengan berbagai kegiatan pembangunan serta memberi peluang untuk tumbuhnya kehidupan demokrasi, dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih efektif. Ketiga, dari aspek pendapatan, jumlah penduduk, dan luas wilayah serta pertahanan dan keamanan cukup memiliki potensi dan berkemampuan untuk mengelola hak, wewenang, dan tanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintah di daerah secara mandiri. Aspirasi ini selanjutnya ditanggapi oleh pemerintah provinsi melalui surat Gubernur Jawa Barat kepada Bupati Bandung No. 135/2655/Otda tentang Penelitian Rencana Pembentukan Kabupaten DT II Padalarang. Namun, proses tersebut tidak dapat dilanjutkan karena dihadapkan kepada pilihan kebijakan untuk mempercepat peningkatan status Kota Administratif Cimahi menjadi Kota Otonom Cimahi atau Kotif Cimahi kembali berstatus kecamatan. Setelah Cimahi menjadi Kota Otonom, terpisah dari Kabupaten Bandung, tuntutan pemekaran Kabupaten Bandung mencuat kembali ke permukaan sejalan dengan dibukanya ruang publik untuk mengaspirasikan kehendak membentuk daerah otonom baru. Hal tersebut dijamin oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Tuntutan pemekaran ini, meskipun tampak ke permukaan seperti bias elite namun kerap kali melibatkan massa secara masif dalam bentuk unjuk rasa menuntut dibentuknya daerah otonom baru. Dari catatan media massa, paling tidak terdapat 2 (dua) daerah otonom baru yang dituntut untuk dibentuk dari pemekaran Kabupaten Bandung, yakni dibentuknya Kabupaten Bandung Barat dengan jumlah kecamatan 15 (lima belas) dan dibentuknya Kabupaten Bandung Timur dengan jumlah kecamatan 11 (sebelas) dari wilayah Kabupaten Bandung saat ini ditambah dengan 2 (dua) kecamatan dari Kabupaten Sumedang (Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung) dan 2 (dua) kecamatan dari Kabupaten Garut (Kecamatan Balubur Limbangan dan Selaawi). Namun, tuntutan untuk memasukkan dua kecamatan dari kabupaten yang berbeda ini tidak berkembang karena kendala administratif pemerintahan. Menyikapi wacana yang berkembang di masyarakat, Bupati Bandung ketika itu, berinisiatif membentuk tim yang akan melakukan studi kelayakan pembentukan kabupaten baru. Ini adalah langkah yang cukup berani, mengingat di banyak daerah lain yang akan dimekarkan, tidak selalu didahului oleh kajian akademik, apalagi yang melibatkan konsorsium dari 6 perguruan tinggi di wilayah Bandung Raya dan sekira 100 lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hasil studi yang dilakukan tim ini pun tidak serta merta diterima masyarakat. Melalui sejumlah diskusi dan sosialisasi yang dilaksanakan berantai di kecamatan-kecamatan, hasil studi terus diperkaya dengan masukan-masukan kritis dari warga masyarakat. Di sisi lain, perjuangan membentuk Kabupaten Bandung Barat tidak lepas dari kiprah sejumlah organisasi kemasyarakatan, seperti Komite Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KPKBB), Forum Ulama Bandung Barat (FUBB), Forum Peduli Bandung Barat (FPBB), dan Generasi Muda Bandung Barat (GMBB) misalnya, yang sejak awal gencar memperjuangkan dibentuknya Kabupaten Bandung Barat. Sebaliknya, ada pula organisasi masyarakat yang memunculkan wacana tandingan bahwa Bandung Barat belum layak menjadi daerah otonom sendiri. Argumentasinya, pemekaran belum perlu dilakukan karena pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sudah semakin tepat dan optimal yang dilakukan di tingkat kecamatan, setelah adanya pelimpahan kewenangan oleh bupati kepada camat. Pernyataan ini disampaikan secara tertulis oleh para tokoh masyarakat dari Kecamatan Cililin kepada Ketua DPRD dan Bupati Bandung pada tanggal 31 Maret 2003 yang kemudian diperkuat oleh pernyataan Forum 14 Kecamatan (F14) melalui surat kepada Bupati Bandung. Dari kronologis ini, terlihat bahwa wacana pemekaran Kabupaten Bandung tidak hanya berkembang di level elite pemerintahan namun juga di level masyarakat. Perdebatan muncul karena logika yang mendasari argumentasi masing-masing kelompok berbeda. Pemekaran wilayah memang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kapasitas pelayanan publik dan pemerataan pembangunan. Kedua hal inilah yang seyogianya menjadi landasan dalam penataan wilayah, termasuk dalam pembentukan kabupaten baru. Tuntutan pemekaran Kabupaten Bandung dilihat dari kondisi geografis dapat dipahami, karena wilayah Kabupaten Bandung cukup luas (2.324,84 km2) dengan letak wilayah mengelilingi Kota Bandung dan Kota Cimahi. Di samping itu jumlah penduduk Kabupaten Bandung cukup banyak, berdasarkan Supas 2002 sebanyak 4,3 juta jiwa. Perkembangan kota-kota kecamatan tidak terkendali, dengan munculnya kawasan industri di sekitar Padalarang, perbatasan Bandung-Sumedang yang berdampak terhadap Rancaekek dan Cicalengka telah menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pengalihan pemanfaatan ruang yang tidak diantisipasi oleh pemerintah daerah. Terdapat pula kecamatan yang berada di seberang karena dibatasi oleh Kota Bandung dan Cimahi seperti Lembang, Cimenyan, dan Cisarua, serta kecamatan yang hanya dapat ditempuh apabila melalui wilayah Cianjur. Kondisi tersebut menyulitkan pelayanan kepada masyarakat yang masih berpusat di Ibu Kota Soreang. Dengan demikian penataan wilayah melalui pemekaran daerah otonom Kabupaten Bandung dirasakan cukup mendesak, dengan harapan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dapat meningkat. Berkaca dari perjalanan panjang untuk membentuk Kabupaten Bandung Barat (1999-2006), sudah selayaknya perjuangan ini tidak disia-siakan dengan berpuas diri setelah Kabupaten Bandung Barat terbentuk. Perjuangan belum berakhir, Bung ! Jangan terjebak dalam pertarungan kekuasaan untuk "bagi-bagi" jabatan pascapembentukan KBB. Pascapengesahan RUU Kabupaten Bandung Barat, setumpuk persoalan harus segera diselesaikan, baik oleh kabupaten induk maupun kabupaten baru yang terbentuk. Ke depan, manajemen pemerintahan transisi perlu segera diterapkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan, pertama, segera menyelesaikan masalah pembagian aset barang milik/kekayaan daerah (berupa tanah, bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), utang-piutang, serta dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh KBB. Kedua, melakukan penataan kelembagaan organisasi pemerintahan daerah KBB dengan berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik sehingga jumlah aparat birokrasi yang diperlukan tidak terlampau banyak namun memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai. Kepastian mengenai jumlah PNS yang akan diserahkan kepada KBB merupakan langkah awal yang positif, namun perlu terus "dikawal" agar proses ini tidak menyimpang dari rencana semula. Potensi munculnya free riders mungkin terjadi, apalagi setelah Bupati KBB terpilih. Kepentingan politik bisa menjadi sangat kuat, termasuk dalam penataan organisasi birokrasi. Kontrol masyarakat perlu terus dilakukan untuk meminimalkan potensi penyimpangan ini. Ketiga, merumuskan program dan kegiatan yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan kecamatan-kecamatan di KBB, sehingga setelah terbentuk menjadi kabupaten baru, tidak tergantung pada kabupaten induknya, antara lain dengan melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kesenjangan dan di sisi lain, dapat memacu lahirnya pusat-pusat perekonomian baru di kabupaten yang baru terbentuk itu melalui pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari pupati kepada camat, baik di bidang pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, pendidikan dan kesehatan, sosial dan kesejahteraan rakyat, dan pertanahan serta penyerahan kewenangan dan pembiayaan kepada desa/kelurahan. Keempat, kendala geografis dalam rentang kendali dapat diminimalkan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi sehingga pemantauan terhadap kondisi wilayah tetap dapat dilaksanakan. Mudah-mudahan keempat agenda tersebut tidak melunturkan semangat para tokoh dan masyarakat Bandung Barat untuk terus mendampingi dan membesarkan bayi yang baru lahir ini. Selamat datang Kabupaten Bandung Barat, semoga harapan akan perbaikan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat segera terwujud.***

Gugat-menggugat Hasil Pilkada

Ada fenomena menarik yang perlu dicermati pascapilkada langsung di sejumlah daerah di Indonesia. Fenomena tersebut adalah maraknya gugatan sengketa pilkada yang diajukan pasangan calon yang kalah dalam pilkada. Di satu sisi, hal ini bisa jadi mengindikasikan bangkitnya kesadaran hukum untuk menyelesaikan ketidakpuasan melalui jalur yustisi. Namun, yang lebih menarik untuk diamati adalah motivasi di balik munculnya gugatan tersebut. Maraknya gugatan yang diajukan, di sisi lain, juga mengindikasikan ketidaksiapan elite politik untuk kalah dalam pilkada langsung. Apalagi sempat beredar rumor bahwa gugatan tersebut telah dipersiapkan sebelum hasil akhir pilkada disahkan. Bila rumor ini benar, betapa disayangkan proses berdemokrasi yang baru dimulai telah dikotori oleh manipulasi yustisi untuk kepentingan sekelompok orang. Secara konstitusional, tindakan menggugat hasil pilkada dimungkinkan oleh aturan, namun hendaknya mekanisme hukum ini dipandang sebagai suatu bentuk resolusi konflik yang baru digunakan bila benar-benar terjadi indikasi penyimpangan dalam proses pilkada, baik itu dalam tahap persiapan, pelaksanaan, penghitungan suara, maupun dalam penetapan hasil pilkada. Karena kedudukannya sebagai mekanisme resolusi konflik, hendaknya penyelesaian sengketa pilkada melalui jalur hukum tidak lalu menimbulkan konflik baru yang berkepanjangan, yang justru membawa dampak langsung terhadap kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika melihat kecenderungan dewasa ini dengan makin banyaknya kasus sengketa pilkada yang diajukan ke pengadilan, tampaknya mekanisme hukum telah beralih fungsi menjadi arena pertarungan antarelite untuk menyelesaikan ketidakpuasan atas hasil pilkada. Kondisi ini tentu bukanlah pertanda baik bagi perjalanan transisi demokrasi di level lokal, karena akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Ternyata pemilihan langsung justru melahirkan ketidakpastian, yang pada gilirannya akan semakin membuat masyarakat bersikap apatis terhadap pemerintah. Konsensus elite Demokrasi bukanlah ramuan mu­jarab untuk mengobati segala penyakit. Layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, demokrasi juga memiliki efek samping yang bisa jadi tidak menguntungkan bagi banyak pihak. Demikian pula dalam perjalanan transisi demokrasi di Indonesia yang baru berjalan kurang dari satu dekade ini. Dalam setiap perjalanan berdemokrasi tidak selalu berlangsung mulus, tetapi akan selalu ada risiko-risiko yang muncul. Berdemokrasi adalah suatu pilihan, bukan suatu jaminan bahwa segalanya akan berjalan lebih mudah dan lebih baik. Karena itu, menerapkan demokrasi (termasuk juga dalam pilkada langsung), juga berarti siap menanggung segala risiko yang muncul. Tantangan yang relatif berat untuk dihadapi pascapilkada langsung tampaknya adalah kesiapan untuk menerima kekalahan, apalagi bila kekalahan itu sangat tipis atau terjadi di luar dugaan. Harapan besar untuk memperoleh kekuasaan dan menjadi pejabat politik di daerah memang sangat menggiurkan dan kegagalan untuk merealisasikan harapan tersebut bisa jadi sangat menyakitkan. Apalagi biaya untuk ikut dalam pilkada terhitung sangat besar sehingga dapat dimaklumi bila banyak pihak yang tidak siap menerima kekalahan dengan lapang dada. Di balik semua itu, ketidaksiapan elite politik untuk menerima kekalahan dalam pilkada juga mengindikasikan ketidaksiapan elite politik untuk berdemokrasi. Padahal, dalam model budaya politik kita yang cenderung paternalistik, peran elite sangat menentukan bagi kelangsungan pelembagaan demokrasi di level lokal. Karena itu, konflik yang terjadi di lingkup elite dapat dengan mudah menyebar dan menimbulkan konflik horizontal di level massa pendukung. Demokratisasi mensyaratkan adanya dukungan budaya setempat yang toleran dan akomodatif, sehingga hasil yang dicapai melalui proses demokrasi tidak dapat dengan mudah dibatalkan oleh sekelompok orang, dengan cara apa pun, baik melalui jalur konstitusional (melalui lembaga peradilan) maupun inskonstitusional (misalnya melalui kudeta). Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy (2003) menegaskan, tidak boleh ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim veto terhadap tindakan pembuat keputusan yang sudah terpilih secara demokratis. Prakondisi ini menunjukkan bahwa para aktor yang terlibat dalam pertarungan politik yang demokratis seharusnya memiliki sikap untuk siap kalah dan siap menang terhadap apa pun hasil pilkada. Apalagi bila hasil tersebut telah disahkan oleh lembaga yang disepakati bersama sebagai ’wasit’ dalam pertarungan itu. Bila hasil yang dicapai dalam proses demokrasi saja sudah diragukan bahkan dipersengketakan, maka yang muncul adalah klaim veto dari sekelompok elite terhadap elite lainnya. Klaim veto yang jelas-jelas lebih berorientasi pada perebutan kekuasaan, bukan pada kemaslahatan masyarakat. Mengapa demikian? Karena jelas, sengketa pilkada akan melahirkan konflik berkepanjangan yang berpengaruh terhadap kelangsungan jalannya pemerintahan. Apalagi bila kemudian keputusan pengadilan tinggi kemudian direspons dengan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), sudah pasti yang terjadi adalah kevakuman pengambil kebijakan di daerah. Fakta yang terjadi sekarang ini justru menunjukkan kecenderungan yang memprihatinkan karena meskipun hasil pilkada masih disengketakan dan kepala daerah masih dijabat pejabat sementara, toh roda kehidupan ekonomi terus berjalan tanpa gangguan. Sesungguhnya ini kenyataan yang mengenaskan dan seharusnya menjadi perhatian bagi para elite, betapa senjangnya kepentingan elite dengan kepentingan massa. Manakala elite berebut kekuasaan di panggung politik, masyarakat malah sibuk berjuang mempertahankan hidup di tengah impitan krisis ekonomi berkepanjangan. Tiada suara sia-sia Pilkada langsung semestinya menjadi momentum awal untuk mengembalikan kepedulian elite terhadap massa, apalagi melalui pemilihan langsung, hubungan kepala daerah dengan masyarakat menjadi semakin dekat. Elite seharusnya dapat memanfaatkan momentum pilkada untuk meraih simpati masyarakat dan menumbuhkan konsolidasi demokrasi. Burton, Gunther dan Higley (1992) menyatakan, konsensus elite akan mendorong stabilisasi dan institusionalisasi, yang kemudian mendukung penciptaan demokrasi yang terkonsolidasi. Konsensus yang dibangun di antara elite-elite tidak sekadar dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan atau mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses pelembagaan demokrasi. Suatu proses pembelajaran agar demokrasi benar-benar diyakini sebagai the only game in town, satu-satunya aturan main yang dipercaya. Sebaliknya, bila elite terus berkonflik, yang terjadi adalah polarisasi politik elite dan massa. Dengan kata lain, yang terjadi pascapilkada langsung justru adalah semakin lebarnya jurang kesenjangan kepentingan elite dan massa. Bercermin dari pengalaman pelaksanaan sejumlah pilkada di Jawa Barat, ternyata tidak ada satu pasangan pun yang menang mutlak melebihi pasangan calon lainnya. Artinya, pasangan calon yang menjadi pemenang sesungguhnya tidak dapat mengklaim memperoleh dukungan mutlak, sebaliknya pasangan yang kalah pun seharusnya tidak perlu merasa terpuruk karena selisih suara yang diperoleh tidak terlampau jauh. Apalagi jika dianalisis dari sisi perilaku pemilih yang belum sepenuhnya tergolong pemilih rasional, besaran raihan suara ini belum tentu berkorelasi dengan kesadaran berpolitik yang tinggi. Selisih dalam perolehan suara sesungguhnya merupakan simbol keinginan masyarakat akan adanya perubahan signifikan dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang bisa jadi termanifestasi secara sederhana dengan cara memilih figur alternatif. Tapi, bagi calon terpilih, keinginan masyarakat akan adanya perubahan itulah yang seharusnya menjadi mandat yang dijunjung tinggi dan direalisasikan selama periode kepemerintahannya. Tidak adanya pasangan calon yang memenangkan suara mutlak dalam pilkada seharusnya menjadi rambu-rambu bagi mereka yang terpilih agar tidak semena-mena dalam menjalankan mandat yang diberikan rakyat. Sebaliknya, bagi pasangan yang kalah, persentase raihan suara yang mereka peroleh dapat menjadi amunisi untuk memperkuat bargaining position dalam bernegosiasi dan membentuk konsensus dengan pejabat terpilih. Tentu saja negosiasi dan konsensus yang diharapkan terbentuk pascapilkada bukanlah konsensus yang elite-oriented untuk semata-mata bagi-bagi ”kue kekuasaan”, tapi konsensus yang juga mengakomodasi mandat konstituen yang memilih pasangan calon yang kalah. Demokrasi yang ingin dibangun pascapilkada bukanlah demokrasi yang hanya memperjuangkan kepentingan konstituen yang mendukung calon yang menang, tapi juga kepentingan konstituen yang mendukung calon yang kalah. Dengan demikian, tidak ada suara yang hilang dan sia-sia dalam pilkada langsung. Justru di sinilah para pasangan calon yang tidak terpilih dituntut untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memberikan suara kepada mereka. Calon yang kalah tidak perlu frustrasi atau buru-buru mengajukan gugatan ke pengadilan, tapi bisa memanfaatkan suara yang diperoleh untuk berperan sebagai oposisi yang loyal terhadap pemerintahan yang terbentuk pascapilkada. Meskipun tidak memegang tampuk kekuasaan, bukan berarti tidak dapat berperan bagi perbaikan jalannya pemerintahan daerah. Demokrasi memang dibangun di atas prosedur-prosedur formal, atas tatanan suatu perundang-undangan namun di atas segalanya itu seyogianya demokrasi dibangun di atas kesadaran dan kesiapan stakeholders untuk siap kalah dan siap menang. Artinya, dalam berdemokrasi mestinya terbangun pranata-pranata demokratis pula. Sungguh ideal manakala usai suatu proses pemilihan pemimpin politik, dalam hal ini pilkada, pihak yang kalah segera mengucapkan selamat kepada pemenang karena dengan cara demikian sebetulnya elite politik telah berkontribusi besar untuk rekonsiliasi rakyat pascapilkada.*** Sumber: HU. Pikiran Rakyat, Senin, 26 Desember 2005.