Sabtu, Oktober 06, 2007

Gugat-menggugat Hasil Pilkada

Ada fenomena menarik yang perlu dicermati pascapilkada langsung di sejumlah daerah di Indonesia. Fenomena tersebut adalah maraknya gugatan sengketa pilkada yang diajukan pasangan calon yang kalah dalam pilkada. Di satu sisi, hal ini bisa jadi mengindikasikan bangkitnya kesadaran hukum untuk menyelesaikan ketidakpuasan melalui jalur yustisi. Namun, yang lebih menarik untuk diamati adalah motivasi di balik munculnya gugatan tersebut. Maraknya gugatan yang diajukan, di sisi lain, juga mengindikasikan ketidaksiapan elite politik untuk kalah dalam pilkada langsung. Apalagi sempat beredar rumor bahwa gugatan tersebut telah dipersiapkan sebelum hasil akhir pilkada disahkan. Bila rumor ini benar, betapa disayangkan proses berdemokrasi yang baru dimulai telah dikotori oleh manipulasi yustisi untuk kepentingan sekelompok orang. Secara konstitusional, tindakan menggugat hasil pilkada dimungkinkan oleh aturan, namun hendaknya mekanisme hukum ini dipandang sebagai suatu bentuk resolusi konflik yang baru digunakan bila benar-benar terjadi indikasi penyimpangan dalam proses pilkada, baik itu dalam tahap persiapan, pelaksanaan, penghitungan suara, maupun dalam penetapan hasil pilkada. Karena kedudukannya sebagai mekanisme resolusi konflik, hendaknya penyelesaian sengketa pilkada melalui jalur hukum tidak lalu menimbulkan konflik baru yang berkepanjangan, yang justru membawa dampak langsung terhadap kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika melihat kecenderungan dewasa ini dengan makin banyaknya kasus sengketa pilkada yang diajukan ke pengadilan, tampaknya mekanisme hukum telah beralih fungsi menjadi arena pertarungan antarelite untuk menyelesaikan ketidakpuasan atas hasil pilkada. Kondisi ini tentu bukanlah pertanda baik bagi perjalanan transisi demokrasi di level lokal, karena akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Ternyata pemilihan langsung justru melahirkan ketidakpastian, yang pada gilirannya akan semakin membuat masyarakat bersikap apatis terhadap pemerintah. Konsensus elite Demokrasi bukanlah ramuan mu­jarab untuk mengobati segala penyakit. Layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, demokrasi juga memiliki efek samping yang bisa jadi tidak menguntungkan bagi banyak pihak. Demikian pula dalam perjalanan transisi demokrasi di Indonesia yang baru berjalan kurang dari satu dekade ini. Dalam setiap perjalanan berdemokrasi tidak selalu berlangsung mulus, tetapi akan selalu ada risiko-risiko yang muncul. Berdemokrasi adalah suatu pilihan, bukan suatu jaminan bahwa segalanya akan berjalan lebih mudah dan lebih baik. Karena itu, menerapkan demokrasi (termasuk juga dalam pilkada langsung), juga berarti siap menanggung segala risiko yang muncul. Tantangan yang relatif berat untuk dihadapi pascapilkada langsung tampaknya adalah kesiapan untuk menerima kekalahan, apalagi bila kekalahan itu sangat tipis atau terjadi di luar dugaan. Harapan besar untuk memperoleh kekuasaan dan menjadi pejabat politik di daerah memang sangat menggiurkan dan kegagalan untuk merealisasikan harapan tersebut bisa jadi sangat menyakitkan. Apalagi biaya untuk ikut dalam pilkada terhitung sangat besar sehingga dapat dimaklumi bila banyak pihak yang tidak siap menerima kekalahan dengan lapang dada. Di balik semua itu, ketidaksiapan elite politik untuk menerima kekalahan dalam pilkada juga mengindikasikan ketidaksiapan elite politik untuk berdemokrasi. Padahal, dalam model budaya politik kita yang cenderung paternalistik, peran elite sangat menentukan bagi kelangsungan pelembagaan demokrasi di level lokal. Karena itu, konflik yang terjadi di lingkup elite dapat dengan mudah menyebar dan menimbulkan konflik horizontal di level massa pendukung. Demokratisasi mensyaratkan adanya dukungan budaya setempat yang toleran dan akomodatif, sehingga hasil yang dicapai melalui proses demokrasi tidak dapat dengan mudah dibatalkan oleh sekelompok orang, dengan cara apa pun, baik melalui jalur konstitusional (melalui lembaga peradilan) maupun inskonstitusional (misalnya melalui kudeta). Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy (2003) menegaskan, tidak boleh ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim veto terhadap tindakan pembuat keputusan yang sudah terpilih secara demokratis. Prakondisi ini menunjukkan bahwa para aktor yang terlibat dalam pertarungan politik yang demokratis seharusnya memiliki sikap untuk siap kalah dan siap menang terhadap apa pun hasil pilkada. Apalagi bila hasil tersebut telah disahkan oleh lembaga yang disepakati bersama sebagai ’wasit’ dalam pertarungan itu. Bila hasil yang dicapai dalam proses demokrasi saja sudah diragukan bahkan dipersengketakan, maka yang muncul adalah klaim veto dari sekelompok elite terhadap elite lainnya. Klaim veto yang jelas-jelas lebih berorientasi pada perebutan kekuasaan, bukan pada kemaslahatan masyarakat. Mengapa demikian? Karena jelas, sengketa pilkada akan melahirkan konflik berkepanjangan yang berpengaruh terhadap kelangsungan jalannya pemerintahan. Apalagi bila kemudian keputusan pengadilan tinggi kemudian direspons dengan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), sudah pasti yang terjadi adalah kevakuman pengambil kebijakan di daerah. Fakta yang terjadi sekarang ini justru menunjukkan kecenderungan yang memprihatinkan karena meskipun hasil pilkada masih disengketakan dan kepala daerah masih dijabat pejabat sementara, toh roda kehidupan ekonomi terus berjalan tanpa gangguan. Sesungguhnya ini kenyataan yang mengenaskan dan seharusnya menjadi perhatian bagi para elite, betapa senjangnya kepentingan elite dengan kepentingan massa. Manakala elite berebut kekuasaan di panggung politik, masyarakat malah sibuk berjuang mempertahankan hidup di tengah impitan krisis ekonomi berkepanjangan. Tiada suara sia-sia Pilkada langsung semestinya menjadi momentum awal untuk mengembalikan kepedulian elite terhadap massa, apalagi melalui pemilihan langsung, hubungan kepala daerah dengan masyarakat menjadi semakin dekat. Elite seharusnya dapat memanfaatkan momentum pilkada untuk meraih simpati masyarakat dan menumbuhkan konsolidasi demokrasi. Burton, Gunther dan Higley (1992) menyatakan, konsensus elite akan mendorong stabilisasi dan institusionalisasi, yang kemudian mendukung penciptaan demokrasi yang terkonsolidasi. Konsensus yang dibangun di antara elite-elite tidak sekadar dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan atau mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses pelembagaan demokrasi. Suatu proses pembelajaran agar demokrasi benar-benar diyakini sebagai the only game in town, satu-satunya aturan main yang dipercaya. Sebaliknya, bila elite terus berkonflik, yang terjadi adalah polarisasi politik elite dan massa. Dengan kata lain, yang terjadi pascapilkada langsung justru adalah semakin lebarnya jurang kesenjangan kepentingan elite dan massa. Bercermin dari pengalaman pelaksanaan sejumlah pilkada di Jawa Barat, ternyata tidak ada satu pasangan pun yang menang mutlak melebihi pasangan calon lainnya. Artinya, pasangan calon yang menjadi pemenang sesungguhnya tidak dapat mengklaim memperoleh dukungan mutlak, sebaliknya pasangan yang kalah pun seharusnya tidak perlu merasa terpuruk karena selisih suara yang diperoleh tidak terlampau jauh. Apalagi jika dianalisis dari sisi perilaku pemilih yang belum sepenuhnya tergolong pemilih rasional, besaran raihan suara ini belum tentu berkorelasi dengan kesadaran berpolitik yang tinggi. Selisih dalam perolehan suara sesungguhnya merupakan simbol keinginan masyarakat akan adanya perubahan signifikan dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang bisa jadi termanifestasi secara sederhana dengan cara memilih figur alternatif. Tapi, bagi calon terpilih, keinginan masyarakat akan adanya perubahan itulah yang seharusnya menjadi mandat yang dijunjung tinggi dan direalisasikan selama periode kepemerintahannya. Tidak adanya pasangan calon yang memenangkan suara mutlak dalam pilkada seharusnya menjadi rambu-rambu bagi mereka yang terpilih agar tidak semena-mena dalam menjalankan mandat yang diberikan rakyat. Sebaliknya, bagi pasangan yang kalah, persentase raihan suara yang mereka peroleh dapat menjadi amunisi untuk memperkuat bargaining position dalam bernegosiasi dan membentuk konsensus dengan pejabat terpilih. Tentu saja negosiasi dan konsensus yang diharapkan terbentuk pascapilkada bukanlah konsensus yang elite-oriented untuk semata-mata bagi-bagi ”kue kekuasaan”, tapi konsensus yang juga mengakomodasi mandat konstituen yang memilih pasangan calon yang kalah. Demokrasi yang ingin dibangun pascapilkada bukanlah demokrasi yang hanya memperjuangkan kepentingan konstituen yang mendukung calon yang menang, tapi juga kepentingan konstituen yang mendukung calon yang kalah. Dengan demikian, tidak ada suara yang hilang dan sia-sia dalam pilkada langsung. Justru di sinilah para pasangan calon yang tidak terpilih dituntut untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memberikan suara kepada mereka. Calon yang kalah tidak perlu frustrasi atau buru-buru mengajukan gugatan ke pengadilan, tapi bisa memanfaatkan suara yang diperoleh untuk berperan sebagai oposisi yang loyal terhadap pemerintahan yang terbentuk pascapilkada. Meskipun tidak memegang tampuk kekuasaan, bukan berarti tidak dapat berperan bagi perbaikan jalannya pemerintahan daerah. Demokrasi memang dibangun di atas prosedur-prosedur formal, atas tatanan suatu perundang-undangan namun di atas segalanya itu seyogianya demokrasi dibangun di atas kesadaran dan kesiapan stakeholders untuk siap kalah dan siap menang. Artinya, dalam berdemokrasi mestinya terbangun pranata-pranata demokratis pula. Sungguh ideal manakala usai suatu proses pemilihan pemimpin politik, dalam hal ini pilkada, pihak yang kalah segera mengucapkan selamat kepada pemenang karena dengan cara demikian sebetulnya elite politik telah berkontribusi besar untuk rekonsiliasi rakyat pascapilkada.*** Sumber: HU. Pikiran Rakyat, Senin, 26 Desember 2005.

Tidak ada komentar: